IstriBuya Hamka tidak berjilbab. Aisiyah dan Muslimah dulu tidak pakai jilbab. Ini bukti bahwa jilbab terjadi beda pendapat soal kewajiban dan tidaknya. Dari perbedaan para ulama yang ada, menurut beliau, yang paling banyak adalah pendapat yang mengatakan jilbab yang paling penting adalah pakaian terhormat. Jilbab menurut beliau baik. Potret Buya Hamka Wikipedia Oleh Ahsan Hakim MPdI Mahasiswa Prodi Doktor Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang Cukup banyak yang tersentak ketika Naila Fauzia, cucu salah seorang tokoh Muhammadiyah, Buya Hamka, mengangkat sebuah tulisan di akun media sosialnya yang mengatakan bahwa jilbab, menurut Buya Hamka, tidak wajib. Tulisan tersebut menarik minat saya untuk turut berkomentar dan sempat terjadi perdebatan. Perdebatan itu kemudian membawa saya terhubung langsung dengan Ibu Fathiyah Hamka yang merupakan anak kandung ke-7 Buya Hamka melalui sambungan telepon, melalui perantara Mbak Naila yang merupakan anak beliau. Melalui telepon itu, saya dapat menyimpulkan bahwa Mbak Naila adalah orang baik tentu saja!, meskipun dalam hal jilbab, kami berselisih pendapat. Hal yang pertama perlu digarisbawahi adalah bahwa, H. Abdul Karim Abdullah yang kemudian kita kenal dengan nama Hamka, sebagai seorang individu adalah milik keluarganya, tetapi Hamka sebagai ulama adalah milik umat Islam. Sehingga pemikiran Hamka yang dituliskan dalam karya-karyanya bukan hanya hak keluarganya yang dapat dihitung dan dibagi berdasarkan Ilmu Faraid. Pemikiran Hamka tidak dapat misalnya, dimanipulasi’ oleh sebagian keluarganya, melainkan dapat didiskusikan oleh siapapun yang mempelajarinya. Terlebih, di internal cucu-cucu Hamka sendiri terbelah dua pandangan terkait pemikiran Hamka tentang jilbab, sehingga dapat dikatakan di internal cucu-cucu Hamka sendiri masih belum final. Apakah jilbab menurut Hamka wajib? Pertanyaan tersebut membutuhkan teks langsung Hamka tentang hukum jilbab. Sayangnya sampai tulisan ini dibuat, jawaban tekstual itu tidak ditemukan. Tidak ditemukan jawaban tegas Hamka tentang “hukum wajib jilbab”. Pada saat yang sama Hamka tidak memaksakan anggota keluarga perempuannya memakai jilbab. Itulah faktor utama yang menjadikan banyak orang bertanya-tanya, bahkan di antara cucu Buya Hamka sendiri terbelah pandangan. Supaya fair maka harus saya katakan, Hamka memang secara tekstual tidak menulis hukum jilbab adalah wajib, tetapi Hamka juga tidak secara tekstual menulis hukum jilbab adalah tidak wajib. Berangkat dari sini, artinya skor masih sama 1-1. Belum bisa ditarik kesimpulan secara tegas apakah Buya Hamka mewajibkan jilbab bagi perempuan ataukah tidak. Untuk mengurai masalah tersebut, harus dibedakan antara Pemikiran Hamka dan Sikap Hamka. Ini penting. Karena melihat sepak terjang Hamka, dua hal itu memang memiliki domain yang berbeda dalam sejarah perjalanan hidupnya. Ini dapat dibuktikan misalnya, secara pemikiran ia berlawanan dengan Soekarno, tetapi secara sikap, ia justru menyalatkan jenazah Soekarno. Lantas apa yang dibicarakan Hamka dalam menafsirkan ayat-ayat yang terkait dengan jilbab? Dalam perdebatan di media sosial, Mbak Naila menjelaskan bahwa kriteria pakaian perempuan menurut Hamka sederhana, yaitu sopan, layak dan tidak menggoda kaum pria. Cukup. Kriteria itu ia ambil dari keterangan di buku Hamka yang berjudul 1001 Soal Kehidupan. Kriteria tersebut paralel dengan penjelasan Hamka ketika menafsirkan QS. Al-Ahzab ayat 59 dalam sub bab tersendiri yang diberi judul Pakaian Sopan. Ia menuliskan, “Selangkah demi selangkah masyarakat Islam itu ditentukan bentuknya agar berbeda dengan masyarakat jahiliyah. Terutama ditunjukkan perbedaan pakaian perempuan yang menunjukkan adab sopan santun yang tinggi.” Jika Mbak Naila hanya berhenti pada penjelasan kriteria pakaian yang sopan, layak dan tidak menggoda laki-laki, maka sebagaimana yang saya sampaikan di telepon, pernyataan itu rawan digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung-jawab untuk membenarkan dirinya berpakaian apapun selama merasa sopan, layak dan tidak menggoda laki-laki. Kriteria itu abstrak sekali dan, sebagaimana perdebatan di media sosial tersebut, kriteria itu dapat berlaku sangat fleksibel dan subyektif? seperti yang diakui Mbak Naila sendiri. Dalam membicarakan kriteria sopan itu, harus melihat penjelasan utuh Hamka dalam tafsirnya. Ia menulis dalam sub bab Jilbab di Indonesia ketika menafsirkan QS. Al-Ahzab ayat 59, “Dalam ayat yang kita tafsirkan ini jelaslah bahwa bentuk pakaian atau modelnya tidaklah ditentukan oleh al-Quran. Yang jadi pokok yang dikehendaki al-Quran ialah pakaian yang menunjukkan iman kepada Allah SWT, pakaian yang menunjukkan kesopanan, bukan yang memperagakan badan untuk jadi tontonan laki-laki.” Dalam menafsirkan QS. An-Nur ayat 31, Hamka membuat sub bab Kesopanan Iman. Ia menuliskan, “Yang diperingatkan oleh Islam kepada umatnya yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan ialah supaya mata jangan diperliar, kehormatan diri dan kemaluan hendaklah dipelihara, jangan menonjolkan perhiasan yang seharusnya tersembunyi, jangan membiarkan bagian dada terbuka, tetapi tutuplah baik-baik.” Jika penjelasan di atas masih belum jelas, Hamka belum berhenti. Ia menjelaskan kriteria yang lebih detail dalam menafsirkan QS. An-Nur ayat 31. “Peringatan kepada perempuan, selain menjaga penglihatan mata dan memelihara kemaluan, ditambah lagi, yaitu janganlah dipertontonkan perhiasan mereka kecuali yang nyata saja. CINCIN DI JARI, MUKA DAN TANGAN, ITULAH PERHIASAN YANG NYATA. Artinya yang sederhana dan tidak menyolok dan menganjurkan. Kemudian diterangkan pula, bahwa hendaklah selendang kudung yang telah memang tersedia ada di kepala itu ditutupkan kepada dada.” Dalam penjelasan selanjutnya Hamka menuliskan agar perempuan menutupkan selendang kepada “juyub”, yaitu lubang terbuka dada yang memperlihatkan pangkal payudara. Adalah betul Hamka tidak menyatakan secara tekstual jilbab adalah wajib, tetapi Hamka menyebutkan kriteria pakaian di dalam Islam, yaitu beradab yang sopan, tidak memperagakan badan menonjolkan lekuk tubuh pada laki-laki, tidak mempertontonkan perhiasan kecuali yang nyata cincin di jari, muka dan tangan, dan mengenakan selendang kudung yang dijulurkan menutupi dada. MODE PAKAIAN Hal yang menarik, ketika menjelaskan kritera pakaian itu, Hamka menuliskan keluhannya ketika menafsirkan QS. An-Nur ayat 31. Katanya, “Memang amatlah payah menerima anjuran ini bagi orang yang lebih tenggelam kepada pergaulan modern sekarang ini. Kehidupan modern adalah pergaulan yang amat bebas di antara laki-laki dan perempuanlah permulaan dari penyakit yang tidak akan sembuh selama-lamanya, sampai hancur pribadi dan hilang kendali atas diri. Menjadilah kita orang yang kotor. Orang dipaksa mesti sopan dan berpekerti halus terhadap perempuan, tetapi pintu-pintu buat mengganggu syahwat dibuka selebar-lebarnya. Mode-mode pakaian perempuan terlepas sama sekali dari kendali agama, lalu masuk ke dalam kekuasaan diktator ahli mode di Paris, London, dan New York.” Panjang lebar Hamka mengkritik filsafat pandangan hidup Barat modern yang dimulai-sebarkan oleh Sigmund Freud dan Karl Marx, yang telah mengeksploitasi filsafat pandangan hidup untuk dikerucutkan pada urusan libido dan masalah perut. Pada sub bab Jilbab di Indonesia Hamka menuliskan pengalamannya ketika datang ke Tanjung Pura dan Pangkalan Berandan tahun 1926, ke Makassar tahun 1931, ke Bima tahun 1956, ke Gorontalo tahun 1967, dan ke Yogyakarta tahun 1924 pada Gerakan Aisyiyah, untuk menjelaskan bagaimana model jilbab yang dikenakan pada masing-masing budaya di daerah tersebut. Kemudian ia menyampaikan, “Menjadi adat istiadat perempuan Indonesia jika telah kembali dari haji, lalu memakai khimaar selendang yang dililitkan di kepala dengan dibawahnya dipasak dengan sanggul bergulung, sehingga rambut kemas tidak kelihatan.” Untuk diketahui, Hamka sebenarnya mendefinisikan jilbab sebagai, “Kain sarung yang ditutupkan ke seluruh badan hanya separuh muka saja yang kelihatan.” Maka jelaslah Hamka membedakan antara mode pakaian dan kriteria pakaian dalam Islam. Bahkan, di lain pihak, Hamka juga mengatakan perempuan Mekah yang memakai jenis pakaian yang hanya terlihat matanya dan beberapa negeri Islam yang perempuannya memakai purdah, bukan merupakan kriteria detail pakaian yang disebut dalam al-Quran. Tetapi digolongkan dalam mode pakaian. Hamka terlihat ingin menonjolkan pemikiran moderatnya ketika menulis paragraf penutup pada tafsir QS. An-Nur ayat 31, “Kalau di Barat perempuan bebas lepas sesuka dengan tidak ada kontrol, maka di negeri-negeri Islam yang jumud perempuan dikurung oleh laki-laki. Keduanya kehilangan pedoman hidup. Maka jalan yang baik ialah kembali kepada jalan tengah yang diwariskan Nabi Saw. Kaum perempuan tidak dikurung dan ditindas, tidak pula dibiarkan mengacaukan masyarakat dengan kerling matanya. Tetapi dipupuk rasa tanggung jawabnya atas dirinya, dengan bimbingan laki-laki, dalam rangka membangun masyarakat beriman.” SIKAP HAMKA Telah saya katakan di awal bahwa memang, harus dibedakan antara Pemikiran Hamka dan Sikap Hamka. Mengingat Hamka tidak memaksakan anggota keluarganya yang perempuan untuk mengenakan jilbab, bahkan ketika masih memegang Yayasan Al-Azhar di Kebayoran Baru, berdasarkan cerita Mbak Naila, siswi sekolah tersebut memakai rok selutut dan kemeja lengan pendek. Guru perempuannya pun tidak ada yang berjilbab, memakai rok biasa dan rambut terbuka. Ibu Fathiyah Hamka dengan vibrasi suaranya yang menunjukkan beliau sudah tua, menyampaikan di telepon, “Hamka tidak pernah mewajibkan anak-anaknya memakai jilbab, juga tidak melarang-larang memakainya. Ya kehidupan berjalan biasa begitu saja.” Lantas bagaimana mengawinkan fakta keduanya antara pemikiran dan sikap Hamka? Ada ceramah Gus Baha yang menarik saya terjemah dan trakskripkan audionya di sini. Ia menyampaikan, “Tidak usah sok pintar. Asal dia ulama entah dia itu siapa saja harus kita hormati. Saya hormat sekali, dengan Mbah Mun ya hormat, dengan Habib Lutfi ya hormat, dengan Bapak Quraish Shihab ya hormat, asal dia alim ulama pasti bacanya banyak, pertimbangannya banyak. Kecuali dia tidak alim saya tidak percaya, tapi beliau-beliau ini kan orang alim. Lalu kalau beliau berstatemen hukum, apakah hukum fikih atau hukum tahapan, kita kan tidak tahu, kan dia orang alim. Kadang orang alim fatwa itu hukum tahapan, bukan hukum sebenarnya. Misalnya begini, orang Indonesia rata-rata cara berpakaian begitu lalu diputuskan bilang tidak apa-apa. Ternyata bilang tidak apa-apa itu dalam proses tahapan, bukan menghukumi yang sebenarnya. Saya contohkan paling mudah supaya kamu ngaji, supaya tidak sedikit-sedikit menyalahkan orang. Rasulullah pernah ditanya, Ya Rasulallah saya ini mau masuk Islam tapi penyakit dasar saya berbohong. Apa boleh saya shalat, zakat, tapi masih berbohong? Jawab Nabi, Tidak apa-apa, kamu yang penting shalat.’ Setelah orang itu pergi Ibnu Abbas protes, Ya Rasulallah apakah engkau menghalalkan berbohong?’ Kata Nabi, Tidak, berbohong tidak halal.’ Ibnu Abbas bertanya lagi, Tapi engkau membolehkan ketika orang itu membuat kontrak tetap boleh berbohong karena orang ini pekerjaannya makelar, rezekinya dari berbohong.’ Jawab Nabi, Nanti kalau sering shalat pasti jijik sendiri dengan berbohong.’ Berarti ketika Nabi tidak mengharamkan berbohong ini bukan hukum sebenarnya, ini hukum tahapan.” Menyimak ceramah Gus Baha tersebut, jika benar sikap Hamka termasuk hukum tahapan dan bukan hukum fikih, maka benarlah apa yang dijelaskan oleh cucu Hamka yang lainnya, yaitu kakak beradik Mas Abdul Malik dan Mas Abdul Hadi, bahwa Hamka mendorong putri-putrinya untuk berjilbab, tetapi dalam prakteknya tidak dengan cara memaksa. Terlebih pada zaman itu belum terlalu umum budaya jilbab di Indonesia. Kakak beradik tersebut adalah putri dari Prof. Dr. Aliyah Hamka, yang juga merupakan anak kandung Hamka. Itu adalah husnuzhan saya terhadap Hamka, terhadap ulama. Jika saya harus memberlakukan sikap suuzhan, maka dalam timbangan pikiran pribadi boleh jadi saya katakan Hamka kurang bertanggung jawab terhadap anggota keluarga perempuannya dari perintah menutup aurat. Tapi hal itu jelas tidak saya lakukan. SISTEMATIKA PENULISAN TAFSIR AL-AZHAR Dalam menafsirkan QS. An-Nur ayat 31-32 Hamka secara runut menjelaskan Peringatan bagi kaum laki-laki agar menjaga pandangan matanya dari perempuan agar terhindar dari syahwat yang tidak terkendali Peringatan bagi kaum perempuan untuk selain menjaga penglihatan dan memelihara kemaluan, juga tidak mempertontonkan perhiasannya kecuali yang nyata saja cincin di jari, muka dan tangan Kritik terhadap mode pakaian dan filsafat pandangan hidup Barat modern Orang-orang yang boleh diperlihatkan “perhiasan” perempuan Kesopanan Iman, dengan mejelaskan kriteria pakaian dalam Islam dan pembahasan mode pakaian Adapun dalam menafsirkan QS. Al-Ahzab ayat 59 Hamka secara runtut memaparkan Pakaian Sopan, dengan mengisahkan bagaimana Rasulullah memerintahkan istri-istri dan anak-anaknya yang perempuan agar ketika keluar dari rumah hendaklah memakai jilbab Jilbab di Indonesia, yang membicarakan model-model jilbab yang dipakai sesuai adat dan budaya di Indonesia Dengan melihat sistematika itu, rasanya memang tidak perlu lagi berebut klaim apakah Hamka mewajibkan jilbab atau tidak karena secara tekstual memang tidak/belum ditemukan, tetapi yang perlu mendapat perhatian lebih adalah bagaimana Hamka menjelaskan kriteria pakaian dalam Islam seperti yang sudah dijelaskan di atas serta kritik beliau terhadap mode, budaya, serta filsafat hidup Barat modern terkait pakaian dan kehidupan perempuan. Jika itu disepakati, maka diskusi bisa dianggap selesai. Wallahu a’lam bish-shawab.

Ketiga Pendalilan Bpk Quraish dengan istri Buya Hamka yang tidak memakai jilbab. Tidaklah lazim jika Istri Buya Hamka tidak memakai jilbab maka berarti Buya Hamka membolehkan membuka jilbab. Apa yang dipraktekan oleh istri seorang ustadz tidak mesti seluruhnya dibenarkan oleh sang ustadz, kecuali jika ada pernyataan dari sang ustadz yang

Gambar dari “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. Al-Ahzaab 59 Seringkali kita mendengar dalam ceramah di masjid dan televisi tentang wajibnya perempuan berjilbab. Konon perempuan yang tidak mau berjilbab akan disiksa di dalam kuburnya, dibakar rambutnya, dan dimasukkan ke dalam api neraka. Seram sekali ya.. Tapi benarkah ancaman semacam itu ada dasarnya? Bagaimana bisa selembar kain berkaitan dengan moralitas atau pun dosa pahala? Ayat 59 surat Al-Ahzaab umumnya menjadi dalil bagi mereka yang mewajibkan jilbab jilbab dalam Bahasa Arab merupakan kain lebar yang menutup seluruh tubuh. Ayat tersebut memang benar adanya kita dapati dalam Al-Qur’an. Namun jika kita telisik lebih dalam mengenai sebab turunnya Asbabun Nuzul, kita akan mendapati bahwa ayat ini sesungguhnya memiliki tujuan khusus. Diceritakan bahwa istri-istri Nabi saat keluar rumah seringkali diganggu oleh para pria jahiliyah hidung belang di Madinah. Saat para pria itu ditegur, mereka berkilah dengan mengatakan bahwa mereka kira istri-istri Nabi itu adalah budak, sehingga mereka boleh mengganggunya Pada masa itu masih ada budak. Mereka tidak dihormati dan lazim dilecehkan. Atas kejadian ini lah, maka istri-istri Nabi dan para muslimah di Madinah diperintahkan untuk berjilbab sebagai identitas yang membedakan mereka dari budak. Sehingga para pria hidung belang tidak lagi memiliki alasan untuk mengganggu mereka. Imam As-Suyuti dalam tafsirnya Duur Al-Mansuur Fi Tafsir Bil Ma’tsur menjelaskan lebih lanjut perihal ayat ini “Jilbab dimaksudkan agar orang-orang dapat membedakan yang mana perempuan merdeka. Umar tidak menyuruh budak perempuan untuk berjilbab dan berkata jilbab adalah untuk perempuan merdeka, agar mereka tidak dilecehkan.. Umar pernah melihat seorang budak perempuan berjilbab lalu memukulnya dengan tongkatnya, berkata, “lepaskan jilbab itu, jangan coba-coba berpakaian seperti perempuan merdeka!”.. seorang budak perempuan diperlakukan dengan tidak hormat oleh lelaki lain, dan Allah melarang perempuan merdeka untuk disamakan dengan budak perempuan.” Dari penjelasan ini, dapat diketahui bahwa jilbab bukanlah identitas muslimah, melainkan identitas perempuan merdeka pada zaman itu. Ini adalah penjelasan yang jauh lebih logis, karena perempuan Yahudi dan Nasrani di masa awal Islam juga berjilbab. Sehingga jilbab bukanlah pakaian pembeda agama, melainkan pembeda kelas sosial. Hal ini ditegaskan oleh keputusan di masa Khalifah Umar yang melarang budak perempuan untuk berjilbab. Karena jilbab adalah pakaian khusus untuk perempuan merdeka. Dalam 4 Madzhab Fiqih, batasan aurat seluruh badan hanya lah untuk perempuan merdeka. Sedangkan budak perempuan meski muslimah sekali pun auratnya sama seperti laki-laki, hanya dari lutut sampai pusar. Maka keliru sekali jika dikatakan bahwa jilbab identitas muslimah. Kata “agar mudah dikenali” dalam Al-Qur’an berarti agar mudah dikenali bahwa dia perempuan merdeka, bukan muslimah. Kebijakan pakaian sebagai pembeda status ini tidak hanya ada di Arab, tapi juga di seluruh dunia, namun dalam bentuk yang berbeda-beda. Di Romawi kuno, para budak menggunakan kalung besi khusus yang ditulisi nama pemiliknya. Di India, kasta ksatria menggunakan tali melintang di dada yang disebut upawita’. Ada pun di Tiongkok, para budak dan suku-suku minoritas dilarang memakai beberapa jenis pakaian maupun aksesoris tertentu. Sedangkan di Jepang, hanya perempuan bangsawan yang boleh memakai kimono khusus yang disebut uchikake’. Gambar dari Kebijakan yang sama juga ditemukan di banyak daerah di Nusantara. Di Yogyakarta, pada tahun 1792 dan 1798 dikeluarkan peraturan keraton yang melarang rakyat jelata menggunakan beberapa motif batik seperti Parang Rusak dan Udan Liris. Aturan yang mirip juga terdapat di Tanah Batak di Sumatera Utara, di mana kain ulos tertentu seperti Ulos Gobar hanya boleh dikenakan bangsawan. Sementara di Bugis, baju bodo berwarna hijau khusus dikenakan oleh perempuan bangsawan saja. Jilbab juga bukan berfungsi untuk menahan hasrat lelaki seperti banyak dikemukakan. Karena jika para lelaki mau, mereka bisa saja tetap mengganggu wanita yang berjilbab sekali pun saat ini pun banyak juga kejadian wanita berjilbab masih diganggu. Jilbab hanyalah sekedar penanda di zaman Nabi bahwa seorang perempuan itu merdeka. Sehingga jika ada pria yang masih berani mengganggunya, maka para pria lain dapat mengambil tindakan tegas dengan menghukum pria pengganggu itu. Lalu mengapa jilbab kini tak wajib lagi? Setidaknya ada dua alasan utama yang mendasarinya. 1. Budak sudah tidak ada lagi Ayat yang menyuruh perempuan berjilbab pada hakikatnya memiliki semangat proteksi. Ayat ini merupakan bentuk perlindungan terhadap martabat perempuan merdeka di masa Nabi agar mereka mudah dikenali sehingga tidak dilecehkan seperti budak-budak perempuan yang kerap digoda saat keluar rumah majikannya. Maka sejalan dengan penghapusan perbudakan di seluruh dunia, sebab ayat ini pun menjadi hilang sehingga perintahnya pun gugur. Batalnya suatu syariat yang disebabkan oleh perubahan keadaan merupakan keniscayaan yang diamini oleh para pemimpin Islam di masa lalu, seperti Umar yang menggugurkan hak muallaf menerima bagian zakat karena perubahan situasi politik. Bahkan sebelum sistem perbudakan dihapuskan, ayat ini sudah tidak lagi memiliki relevansi pada kondisi lain yang menjadi alasan kedua, yaitu — 2. Islam telah memasuki budaya lain Jilbab berfungsi sebagai penanda perempuan merdeka di Arab pada masa Nabi. Namun budaya-budaya lain memiliki caranya sendiri dalam membedakan status sosial. Budaya-budaya Nusantara misalnya, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, memiliki cara berupa penggunaan motif kain yang berbeda untuk status sosial yang berbeda. Begitu juga budaya-budaya lain di seluruh dunia punya caranya sendiri dalam membedakan status sosial. Sehingga jilbab tidak memiliki relevansi di luar Arab bahkan sejak sistem perbudakan masih ada. Karena tujuan yang dimaksud bukanlah jilbabnya melainkan fungsinya sebagai pembeda antara perempuan merdeka dan budak, sehingga yang merdeka tidak bisa diganggu. Sementara budaya lain di luar Arab memiliki caranya masing-masing dalam memenuhi fungsi pembeda itu. Dalam masa modern saat ini, ketika budak sudah dihapuskan, maka baik jilbab maupun motif kain sebagai pembeda status sama-sama telah kehilangan relevansinya. Karena kini tidak ada lagi merdeka atau budak, bangsawan atau rakyat biasa. Semua orang kini sama. Setara. Gambar dari Di luar itu, setiap budaya juga memiliki standar kesopanannya masing-masing yang berbeda. Bagi kita bangsa Indonesia, perempuan berambut dan bahu terbuka adalah hal yang lumrah dan sopan-sopan saja. Di desa-desa, perempuan mandi di kali dengan berbalut kain atau sarung saja adalah hal biasa. Hal itu tidak menjadi alasan bagi laki-laki di desa untuk berbuat kurang ajar. Perbedaan budaya ini sangat dipahami oleh para wali serta ulama di Nusantara pada zaman dahulu. Itu lah mengapa kita tidak mendapati nenek-nenek kita berjilbab. Para ulama Nusantara hanya meminta perempuan untuk menutup tubuhnya saat sembahyang, sehingga kita mengenal alat salat yang bernama mukena. Pakaian mukena ini tidak terlalu dikenal di Arab yang memang sehari-hari sudah berpakaian tertutup. Ini ijtihad para wali dalam menghormati adat Nusantara. Mereka tidak dengan angkuhnya mengancam para nenek kita dulu yang berpakaian terbuka. Berjilbab atau pun tidak bukanlah ukuran untuk menilai kebaikan diri seseorang. Semua kembali pada menata pikiran dan menjaga hati masing-masing. Al-Qur’an telah menyuruh laki-laki untuk “menahan pandangan” dan “menjaga kemaluan”. Bukan menyalahkan perempuan apalagi memaksanya berjilbab, karena pakaian selebar apa pun tidak akan cukup jika laki-laki tidak mengendalikan dirinya sendiri. Al-Ahzab ayat 59 menyimpulkan motif perintah jilbab itu dengan sangat lugas, “karena itu mereka tidak diganggu”. Ini lah tujuan tertinggi maqasid yang dimaksud ayat tersebut, yaitu melindungi wanita merdeka dari gangguan pria jahat pada masa di mana perbudakan masih merajalela dan konsep pidana pelecehan seksual sama sekali belum dikenal. Namun kini, perbudakan sudah dihapuskan dan perlindungan wanita telah diformalkan dalam Undang-Undang yang ditegakkan negara. Maka setiap muslim harus menjadi pembela terdepan dari perlindungan wanita sebagaimana semangat ayat agung ini. Bukan sebaliknya merasa berhak melecehkan mereka yang tidak berjilbab. Pada akhirnya, bukan lah selembar kain yang menentukan siapa yang paling mulia, melainkan hati dan amal perbuatannya. Dan hanya Tuhan lah yang paling berhak menilainya. Tugas kita hanya lah menjalani hidup dengan baik, saling menghormati dan saling melindungi sesama. Sesederhana itu. Informasi Tambahan Sejumlah pertanyaan pada kolom komentar di bawah telah dirangkum dan dijawab dalam artikel baru yang bisa dibaca di link ini. Menanggapihal tersebut, Ade Armando geram dan mengeluarkan beberapa pernyataan yang di antaranya menyentil kaum Islamis. Apabila mengacu pada penilaian kaum Islamis, soal berjilbab maka sosok Ulama Besar Buya Hamka bakal masuk neraka lantaran keluarganya yang tidak diwajibkan berjilbab.
"Saya diminta berpidato, tapi sebenarnya ibu-ibu dan bapak-bapak sendiri memaklumi bahwa saya tak pandai pidato. Saya bukan tukang pidato seperti Buya Hamka. Pekerjaan saya adalah mengurus tukang pidato dari sejak memasakkan makanan hingga menjaga kesehatannya.”Itulah kalimat singkat dari Siti Raham binti Endah saat didapuk memberikan pidato dalam kunjungan Buya Hamka ke Makassar. Tak disangka, ucapan dari wanita bersahaja itu mendapat sambutan besar dari ribuan hadirin. “Hidup Ummi.. Hidup Ummi!” pekik Hamka pun meneteskan air mata. Tangis haru dari ulama besar itu mengiringi langkah kaki sang kekasih turun dari panggung. Betapa besar pengorbanan istri tercintanya dalam masa-masa perjuangan. Siti Raham adalah garansi dari ketawadhuan di balik nama besar Buya cinta mereka dimulai pada 5 April 1929. Kala itu, Siti Raham berusia 15 tahun. Sedangkan Buya Hamka berumur 21 tahun. Sejak itu, mereka sah menjadi pasangan suami istri. Ya, di sebuah usia dimana para muda-mudi saat ini lebih sibuk memakan rayuan dan menenggak Buya Hamka meminang Siti Raham patutlah ditiru. Tidaklah salah Allah menganugerahi manusia dengan kekuatan akal pikirannya. Buya Hamka kemudian menulis roman berbahasa Minang berjudul “Si Sabariyah”. Buku itu dicetak tiga kali. Dari honor buku itulah Buya membiayai suka dan duka mewarnai perjalanan Buya Hamka merajut rumah tangga. Ulama Muhammadiyah itu tidak salah memilih Siti Raham. Di saat ujian datang, wanita kelahiran 1914 ini tampil sebagai motivasi baginya. Tanpa mengeluh maupun gulana.“Kami hidup dalam suasana miskin. Sembahyang saja terpaksa berganti-ganti, karena di rumah hanya ada sehelai kain,” tutur Hamka dalam buku biografi “Pribadi dan Martabat Buya Prof Dr. Hamka” karangan Rusydi kemiskinan dua sejoli ini terjadi ketika lahir anak ketiga, yaitu Rusydi Hamka. Dia dilahirkan di kamar asrama, Kulliyatul Mubalighin, Padang Panjang pada 1935. Sedangkan anak pertama Buya Hamka, bernama Hisyam, meninggal dalam usia lima tahun. Besarnya beban ekonomi ditambah kerasnya penjajahan, membuat Hamka harus memutar otak untuk membiayai kondisi diliputi kemiskinan, pergilah Hamka ke Medan untuk bekerja di Majalah Pedoman Masyarakat. Di kota yang kini menjadi ibukota Sumatera Utara itu, Hamka tinggal selama sebelas penuturan Rusydi Hamka, saat itulah dia menyaksikan dan mengalami kesulitan-kesulitan hidup kedua orangtuanya. Di balik tanggung jawab sang ayah, tak lupa kesetiaan Siti Raham senantiasa bersamanya. Wanita tegar itu senantiasa menjalankan amanah Buya Hamka untuk menjadi istri yang taat suami dan mendidik anak-anak di kala Buya tiada kondisi pas-pasan, Buya Hamka mampu menahkodai rumah tangga dengan tujuh orang anak. Itu belum ditambah beberapa kemenakan yang ikut dibiayai Buya Hamka. Sebab dalam adat Minang, seorang Mamak punya tanggung jawab terhadap kemenakan dan saudara mengatakan Hamka adalah orang yang biasa-biasa saja. Berbeda dengan pria keturunan Minang yang pandai berdagang, Buya Hamka bukanlah orang yang mewarisi bakat berbisnis. Hamka juga bukanlah orang yang makan gaji dari pemerintah.“Ketika pindah ke Padang Panjang dalam suasana revolusi, ayah jelas tak punya sumber kehidupan tetap yang diharapkan setiap bulan,” terang Rusydi memimpin Muhammadiyah di Sumatera Barat, Buya Hamka kerap keliling kampung untuk berdakwah. Perjalanan itu kerap dilaluinya dengan Bendi maupun berjalan kaki. Hal itu dilakukan selama berhari-hari tanpa pulang ke saat menemui istrinya di rumah, pertanyaan yang sering diutarakan Buya Hamka adalah Apakah anak-anak bisa makan? Hingga Buya Hamka sengaja menepuk perut anak-anaknya untuk mengetahui apakah buah hatinya lapar atau sinilah, Siti Raham sukses menjalankan amanah sebagai Ibu. Agar anak-anaknya tidak kelaparan, Siti Raham rela menjual harta simpanannya. Beliau bukanlah wanita menjadikan perhiasan sebagai makhota. Karena makhota sejatinya adalah Buya Hamka dan Kalung, gelang emas, dan kain batik halus yang dibelinya di Medan terpaksa dijual di bawah harga demi membeli beras dan membayar uang sekolah anak-anak. Biarlah dirinya kesusahan, asal perut anak-anaknya tidak kelaparan dan tetap bisa melanjutkan kali dirinya meneteskan air mata, ketika membuka almarinya untuk mengambil kain-kain simpanannya untuk dijual ke pasar. Tak tega melihat istrinya terus menguras hartanya, Buya Hamka sontak mengeluarkan beberapa helai kain Bugisnya untuk dijual. Namun sang istri mencegahnya.“Kain Angku Haji jangan dijual, biar kain saya saja. Karena Angku Haji sering keluar rumah. Di luar jangan sampai Angku Haji kelihatan sebagai orang miskin,” dalam keadaan sederhana Siti Raham masih mempertimbangkan kehormatan suaminya. Apa saja dilakukannya agar Buya Hamka tidak terlihat lusuh di mata jama’ah dan masyarakat. Dari mulai memikirkan pakaian hingga membersihkan kopiah bila Buya Hamka hendak keluar. Karena cinta adalah melihat Buya Hamka menangis saat dirinya turun dari mimbar pidato di Makassar, sang istri hanya bisa tersenyum, “Kan yang Ummi pidatokan itu kenyataannya saja.”
HAMKAadalah sebuah singkatan sekaligus nama pena dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Namanya harum sebagai ulama, sastrawan, wartawan, pe
- Menikah dengan Hamka, Siti Raham tetap tegar mengarungi hidup dalam kekurangan. “Kami hidup dalam suasana miskin. Sembahyang saja terpaksa bergantian karena di rumah hanya ada sehelai kain sarung. Tapi, Ummi kalian memang seorang yang setia. Dia tidak minta apa-apa di luar kemampuan Ayah,” tutur Buya Hamka yang direkam Rusydi dalam buku Pribadi dan Martabat Buya Hamka 1981.Oleh Hendra SugiantoroHaji Abdul Malik Karim Amrullah alias Buya Hamka menikahi Siti Raham pada 5 April 1929. Saat itu usia Hamka 21 tahun, usia Siti Raham 15 tahun. Dari pernikahan ini lahir 10 anak yang masih hidup sampai dewasa. Ada dua anak yang meninggal saat kecil dan dua anak yang dengan Hamka, Siti Raham tetap tegar mengarungi hidup dalam kekurangan. “Kami hidup dalam suasana miskin. Sembahyang saja terpaksa bergantian karena di rumah hanya ada sehelai kain sarung. Tapi, Ummi kalian memang seorang yang setia. Dia tidak minta apa-apa di luar kemampuan Ayah,” tutur Buya Hamka yang direkam Rusydi dalam buku Pribadi dan Martabat Buya Hamka 1981.Dalam keluarga, Siti Raham dipanggil Ummi. Sedangkan Siti Raham memanggil Hamka dengan sebutan Angku Haji. Kendati mendampingi Hamka berkeliling berbagai daerah, logat Sungai Batangnya tak hilang. Selain di Padang Panjang, Siti Raham membersamai Hamka di Makassar selama 3 tahun, di Medan selama 11 tahun, dan di Jakarta selama 22 memang bukan pegawai atau pedagang. Penghasilannya semata-mata dari honorarium menulisnya. Karirnya melesat saat di Medan. Hamka diminta mengurusi majalah Pedoman Masyarakat. Majalah ini telah terbit sebelum Hamka berkecimpung. Sejak 1936, Hamka menggarap majalah Juga Kenakalan Hamka Mengantarnya Berpetualang Hingga Jadi UlamaSelain menulis artikel, Hamka juga menerbitkan buku. Di sisi lain, Hamka telah menjadi aktivis Muhammadiyah dan memberikan pengajian di mana-mana. Namun, nasib berputar 180 derajat ketika fitnah menerpa Hamka. Kawan-kawan dekatnya menjatuhkan martabatnya. Di Medan, Hamka murung dan Raham yang menyaksikan suaminya suka melamun akhirnya bersuara, “Tak ada gunanya Angku Haji termenung seperti ini berlarut-larut. Jangan dengarkan kata orang yang tengah marah. Sebelum kita jadi gila memikirkannya, mari kita bawa anak-anak.”Rusydi memaparkan, “Besoknya Ummi melelang barang-barangnya yang tak bisa dibawa ke kampung. Ummi pula yang mengurus kendaraan untuk membawa kami ke Padang Panjang.”Kembali ke Padang Panjang, kondisi ekonomi terpontang-panting. Hamka tak punya penghasilan tetap. Penghasilannya sebagai juru tabligh tak seberapa. Rusydi mengenang, “Anak-anak memang tidak kelaparan, karena Ummi menjual harta benda simpanannya yang dibawa dari Medan. Kalung, gelang emas, dan kain-kain batik halus yang dibelinya di Medan sewaktu Ayah masih menjadi hoofdredakteur Pedoman Masyarakat, dijual dengan harga di bawah pasar, untuk dibelikan beras dan biaya sekolah anak-anak.”Siti Raham berusaha tabah kendati sering menitikkan air mata saat mengambil kain-kain simpanannya dari almari. Melihat kondisi itu, Hamka terenyuh. Sempat ia menawarkan agar kain Bugisnya ikut Juga Buya Hamka Tak Hanya Ulama dan Sastrawan tapi juga Pejuang Kemerdekaan“Kain Angku Haji jangan dijual, biar kain saya saja, karena Angku Haji sering keluar rumah. Di luar jangan sampai Angku Haji kelihatan sebagai fakir yang miskin,” ternyata tak kunjung reda. Saat Belanda berhasil menduduki Padang Panjang saat Agresi Militer Kedua pada 1948, seluruh kampung dalam pengepungan. Saat itu Hamka berkeliling sebagai juru penerangan rakyat. Tugas ini menyebabkan Hamka tak menjumpai keluarganya kekalutan, sesama tetangga tak bisa membantu. Semua orang sedang susah. Malah beberapa orang mati kelaparan. Barang yang dijual Siti Raham tak ada semua anak bisa makan, beras dimasak menjadi bubur. Semua anak bisa kebagian. Kalau beras tak didapatkan, makan ubi tak lagi pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia, Hamka sekeluarga pindah ke Jakarta pada Januari 1950. Sejak tahun itu pula Hamka menjadi pegawai negeri Kementerian Agama golongan F. Namun, pada 1959, ada peraturan pemerintah bahwa pegawai negeri tidak boleh dobel tugas di partai yang aktif di Masyumi dilanda dilema. Hamka meminta pertimbangan istrinya. Siti Raham menjawab, “Jadi Hamka sajalah!”Rusydi Hamka memberi kesaksian, “Saya tak melihat tanda-tanda kecemasan sedikit pun pada wajah Ummi, yang pasti akan kehilangan sekian ribu rupiah gaji, serta beras beberapa liter, yang selama beberapa tahun kami tunggu setiap bulan.”Malam harinya, Siti Raham mengumpulkan anak-anaknya. “Ummi mengatakan, bahwa keadaan Ayah di hari-hari mendatang tidak begitu cerah, karenanya Ummi berharap kami tidak minta yang tidak-tidak. Kalau perlu yang sudah sanggup bekerja, mulailah mencari pekerjaan,” tulis Raham sangat menjaga kehormatan Hamka. Setiap Hamka keluar rumah, ia memastikan pakaian yang dikenakan suaminya bersih dan tidak sembarangan. Hamka telah menjadi milik masyarakat.“Hormati tamu Ayah kalian. Kalau kalian lihat penyambutan mereka di daerah-daerah, kalian akan tahu betapa mereka menghormati Ayah seperti raja,” kata Siti Raham kepada kejadian ketika Hamka melawat ke Makassar. Saat itu Siti Raham diminta berpidato. Dia tak pernah naik mimbar, namun dengan percaya diri berpidato juga. Pidatonya membuat banyak orang riuh bertepuk tangan dan meneriakkan, “Hidup Ummi, hidup Ummi!”Baca Juga Pesan Hamka Agar Jadi Generasi Unggul, Pemuda Wajib Paham Agama dan Sejarah“Waktu itu Ayah menitikkan air mata terharu,” kata Hamka kepada Rusydi. Apa yang disampaikan Siti Raham?“Saya diminta berpidato, tapi sebenarnya Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak sendiri memaklumi, bahwa saya tak pandai pidato. Saya bukan tukang pidato seperti Buya Hamka. Pekerjaan saya adalah mengurus tukang pidato, dengan memasakkan makanan hingga menjaga kesehatannya. Oleh karena itu, maafkan saya tidak bisa bicara lebih panjang,” dalam kesusahan merupakan sepenggal episode Siti Raham dalam mendampingi Hamka. Mereka juga melewati masa senang dan canda besar perjuangan dan ketegaran Siti Raham, seorang perempuan yang sebenarnya turut menjadikan Hamka sebagai manusia besar. Wallahu a’lam.*Artikel pernah dimuat di 29 Mei 2021jqf Inimenandai kiprah Hamka sebagai jurnalis dan penulis. Buya Hamka kemudian menikah dengan Siti Raham pada 5 April 1929. Kala itu Hamka berusia 21 tahun, sementara istrinya berusia 15 tahun. Dari hasil pernikahan itu, sebagaimana dicatat oleh Irfan Hamka dalam AYAH: Kisah Buya Hamka, Hamka dan Siti Raham diberkahi 10 orang anak.
KETIKA dalam sebuah acara Buya Hamka dan istri beliau diundang, mendadak sang pembawa acara meminta istri Buya Hamka untuk naik panggung. Asumsinya, istri seorang penceramah hebat pastilah pula sama hebatnya. Naiklah sang istri, namun ia hanya bicara pendek. “Saya bukanlah penceramah, saya hanyalah tukang masaknya sang Penceramah.” Lantas beliau pun turun panggung. Dan berikut adalah penuturan Irfan, putra Buya Hamka, yang menuturkan bagaimana Buya Hamka sepeninggal istrinya atau Ummi Irfan. BACA JUGA Buya Hamka dan Wanita yang Dipoligami “Setelah aku perhatikan bagaimana Ayah mengatasi duka lara sepeninggal Ummi, baru aku mulai bisa menyimak. Bila sedang sendiri, Ayah selalu kudengar bersenandung dengan suara yang hampir tidak terdengar. Menyenandungkan kaba’. Jika tidak Ayah menghabiskan 5-6 jam hanya untuk membaca Al Quran. Foto Unsplash Dalam kuatnya Ayah membaca Al Quran, suatu kali pernah aku tanyakan. “Ayah, kuat sekali Ayah membaca Al Quran?” tanyaku kepada ayah. “Kau tahu, Irfan. Ayah dan Ummi telah berpuluh-puluh tahun lamanya hidup bersama. Tidak mudah bagi Ayah melupakan kebaikan Ummi. Itulah sebabnya bila datang ingatan Ayah terhadap Ummi, Ayah mengenangnya dengan bersenandung. Namun, bila ingatan Ayah kepada Ummi itu muncul begitu kuat, Ayah lalu segera mengambil air wudhu. Ayah shalat Taubat dua rakaat. Kemudian Ayah mengaji. Ayah berupaya mengalihkannya dan memusatkan pikiran dan kecintaan Ayah semata-mata kepada Allah,” jawab Ayah. BACA JUGA Penjelasan Buya Hamka Tentang Sidratul Muntaha Foto Freepik “Mengapa Ayah sampai harus melakukan shalat Taubat?” tanyaku lagi. “Ayah takut, kecintaan Ayah kepada Ummi melebihi kecintaan Ayah kepada Allah. Itulah mengapa Ayah shalat Taubat terlebih dahulu,” jawab Ayah lagi. [] Sumber Ayah
 Kisah Buya Hamka/Irfan Hamka/Republika/2013
KataHamka: "Perempuan yang dianggap baik oleh Allah atau perempuan yang soleh! ialah perempuan taat, yang tahu diri, yang tahu sampai di batas mana dia harus berjalan. Iaitu perempuan yang memelihara hal-hal yang tersembunyi. Laksana susunan dalam sebuah organisasi. Suami ialah presiden dalam satu rumah tangga, sedang isteri ialah setiausaha. Pakar komunikasi sekaligus pengajar di Universitas Indonesia UI, Ade Armando sebut dalam pandangan kaum islamis, ulama masyhur Buya Hamka bakal masuk neraka. Hal tersebut diungkapkan Ade Armando soal polemik berhijab alias berjilbab di kalangan kaum muslim perempuan. Sepert halnya yang baru-baru ini terjadi, seorang siswi non-muslim SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat diwajibkan oleh pihak sekolah untuk memakai hijab. Menanggapi hal tersebut, Ade Armando geram dan mengeluarkan beberapa pernyataan yang di antaranya menyentil kaum Islamis. Apabila mengacu pada penilaian kaum Islamis, soal berjilbab maka sosok Ulama Besar Buya Hamka bakal masuk neraka lantaran keluarganya yang tidak diwajibkan berjilbab. "Di mata kaum Islamis, Buya Hamka itu masuk neraka karena membiarkan kaum perempuan dalam keluarganya tidak berjilbab," ujarnya dalam kicauan di akun Twitter pribadinya, adearmando1, dikutip Hops pada Kamis, 28 Januari 2021. Dalam cuitan tersebut, Ade Armando juga mengunggah potret Buya Hamka bersama keluarga besarnya. Tampak wanita di sekitar Buya Hamka yang merupakan keluarganya tidak memakai hijab. Terkini . 158 88 446 218 10 420 406 270

istri buya hamka tidak berjilbab